Oleh : Hasanuddin
Ketua Umum PBHMI 2003-2005
BeritaKilat.Com – Lengsernya
Suharto tahun 1998 itu puncak dari gerakan politik mahasiswa yang mulai turun
ke jalan semenjak tahun 95-an. Setidaknya itu yang kami lakukan saat masih
Mahasiswa di Makassar. Kami turun ke jalan saat itu karena menyaksikan berbagai
aspek penyelenggaraan demokrasi dan pemerintahan mesti diperbarui, harus di
reformasi. Pemilu tahun 1997 sudah kami prediksi hanya formalitas semata, hanya
demokrasi prosedural saja untuk mendudukkan kembali Pak Harto kala itu sebagai
Presiden. Meskipun perlu di catat bahwa pak Harto saat itu di depan elit Golkar
sempat bertanya, "apa betul rakyat masih menginginkan saya" ? Yang
dijawab oleh Pak Harmoko selaku Ketua Umum Golkar dan sekaligus Ketua MPR kala
itu bahwa rakyat masih menginginkan. Singkat kata pak Harto lalu dilantik
kembali sebagai Presiden untuk yang keenam kalinya.
Pemilu tahun 1997 itu seperti
Pemilu-Pemilu sebelumnya, tanpa netralitas TNI-Polri, tanpa netralitas PNS/ASN,
tanpa netralitas Pers (utamanya TVRI/RRI) dan tentu saja tanpa netralitas
Kepala Daerah, Camat dan Kepala Desa/Lurah. Benar-benar dapat dipastikan bahwa
hanya perlu satu putaran saja untuk mendudukkan kembali Pak Harto.
Ketidakpuasan mahasiswa
khususnya dan kalangan civil society yang pro-demoktasi pada umumnya atas
pelaksanaan demokrasi di Indonesia itu, membuat gelombang aksi massa yang turun
ke jalan makin membesar, dan terus membesar. Kekerasan aparat terhadap para
aktivis terjadi di setiap kali ada aksi yang dilakukan. Sejumlah Mahasiswa
bahkan tewas berguguran misalnya Mahasiswa UMI Makassar yang kematiannya di
peringati sebagai April Mob oleh Mahasiswa Makassar hingga beberapa tahun
sesudah kejadian.
Sebulan setelah itu di Jakarta
terjadi penembakan mahasiwa yang dikenang dengan peristiwa Semanggi 1 pada
peristiwa ini seorang Mahasiswa dari Universitas Atma Jaya meregang nyawa
setelah terkena timah panas aparat. Lalu ada peristiwa Semanggi 2, sejumlah
mahasiswa dari Universitas Trisakti kali ini yang tumbang oleh sniper. Setelah
itu berbagai aktifis di tangkap, di culik oleh pihak-pihak yang hingga hari ini
masih banyak di antaranya yang belum jelas dimana jasadnya.
Terbunuhnya sejumlah
mahasiswa, maupun masih raibnya sejumlah aktifis yang tidak jelas hingga saat
ini di mana keberadaannya itu, adalah ekses dari tidak diselenggarakannya
pemerintahan secara demokratis, tidak dijalankannya Pemilu berdasarkan azas
Jujur dan Adil, Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia.
Kami ingin agar para pembaca
terutama Polisi, dan penyelenggara Pemilu menyadari betapa pentingnya
penyelenggaraan Pemilu yang demokratis itu, dan betapa besar akibat kerugian
yang kita peroleh sebagai suatu bangsa jika peristiwa tahun 1995-1998 itu
terulang.
Kita mesti bersyukur karena
gerakan reformasi tahun 1998 telah mendorong banyak kemajuan dalam pembangunan
demokratisai kita. Kita jangan tidak pandai bersyukur dengan mengingkarinya,
menghianati para pahlawan reformasi yang gugur pada masa itu, atau hianat dan
tidak punya empati kepada aktifis korban
penculikan yang saat ini belum jelas di mana.
Kami telah menyimak pernyataan
Jendral Wiranto perihal DKP yang memberhentikan Prabowo Subianto; kami pun
telah testimoni Letjend Agum Gumelar, pernyataan Letjend Hendro Proyiyono, dan
banyak lagi lainnya perihal keterlibatan Lejtend Prabowo Subianto dalam
penculikan aktifis Mahasiswa itu.
Namun Kami belum melihat
adanya rezim pemerintahan yang berkenan menegakkan keadilan terkait peristiwa
kejahatan pelanggaran HAM ini.
Bahkan Jokowi selaku Presiden
yang pernah berjanji akan menuntaskan kasus ini saat mau maju pada periode
pertamanya sebagai Presiden dan di ulang lagi ketika mau maju pada periode
keduanya sebagai Presiden, justru melakukan penghianatan terhadap para korban
kejahatan HAM yang di sebut oleh banyak kalangan sebagai "melibatkan"
Prabowo Subianto.
Bahkan Jokowi seperti sudah
mengidap pengakit amnesti dengan janji-janji pemberantasan HAM itu, lalu
merangkul terduga penjahat HAM ini masuk kabinet bahkan memberikan anak-nya
untuk dipasangkan sebagai cawapres Prabowo dengan terlebih dahulu
"memperkosa" Mahkamah Konstitusi.
Ironis sekali. Selaku salah
satu aktifis gerakan reformasi, kami tidak pernah sekali pun memberikan
dukungan kepada Prabowo. Tidak sekalipun. Berkali-kali Prabowo mencalonkan diri
pada Pilpres, kami tidak pernah mendukung apalagi memilihnya. Kami tidak mau
hianat kepada sesama aktifis gerakan reformasi itu.
Kami tidak memilih
penjahat sebagai Presiden.
Depok, 26 Desember 2023
Thanks for reading Tidak Memilih Penjahat Sebagai Presiden | Tags: Headline Opini Politik
« Prev Post
Next Post »
0 comments on Tidak Memilih Penjahat Sebagai Presiden
Posting Komentar