Opini: Inspektorat Harus Mengawasi Gaya Hidup ASN — Lebih dari Sekadar Laporan Tertulis
Oleh: Abdul Kabir Albantani
Pendahuluan
Inspektorat di berbagai jenjang pemerintahan punya amanah untuk menjaga integritas birokrasi. Namun, jika pengawasan hanya berlandaskan laporan administratif saja, celah manipulasi masih terbuka lebar. Realitas menunjukkan ASN dengan pangkat dan golongan lebih rendah (misalnya kepala sekolah SMP) justru kerap terlihat lebih “wah” dalam gaya hidup ketimbang pejabat struktural di dinas, seperti kepala seksi — padahal secara resmi penghasilan lebih rendah. Fenomena ini menuntut adanya model pengawasan yang lebih tajam dan sosial.
Penguatan Argumen Akademik
Penelitian di bidang pendidikan memang banyak mengulas tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru, seperti efektivitas motivasi, mutu pendidikan, dan karakter siswa . Namun, riset tentang gaya hidup ASN sebagai indikator integritas—khususnya penggunaan living standard analysis dalam konteks Indonesia—masih sangat jarang dikembangkan.
Padahal, secara internasional pendekatan living standard analysis telah menjadi strategi efektif untuk mengidentifikasi ketidakwajaran aset atau gaya hidup. Ketidakseimbangan mencolok antara penghasilan resmi dan konsumsi pribadi bisa menjadi alarm dini bagi pengawasan lebih lanjut.
Perbandingan Gaji Resmi vs Gaya Hidup ASN
Jabatan ASN Penghasilan Resmi (Perkiraan)
Kepala Seksi/Bidang Dinas ± Rp 27 juta – Rp 40 juta/bln
Kepala Sekolah SMP (Rata-rata) ± Rp 5,5 juta – Rp 13 juta/bln
Kepala sekolah rentan penghasilan jauh lebih rendah, tetapi terkadang terlihat memiliki gaya hidup yang tidak proporsional—seperti kendaraan SUV mahal yang harganya bisa mencapai Rp 300 juta hingga miliaran rupiah (contoh: Toyota Fortuner hingga Mercedes Maybach) serta data harga SUV . Perbedaan ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi kerja pengawasan inspektorat.
Urgensi Observasi Sosial oleh Inspektorat
Pengawasan berbasis dokumen saja ibarat membaca laporan tanpa melihat konteks sosial yang melingkupi ASN. Inspektorat perlu:
1. Mengadopsi living standard analysis—bandingkan penghasilan resmi dengan gaya hidup dan aset yang dimiliki ASN.
2. Menyiapkan indikator “red flag”, seperti kepemilikan aset mewah oleh ASN dengan penghasilan terbatas.
3. Libatkan masyarakat dan whistleblower—tawarkan kanal pelaporan anonim bagi indikasi gaya hidup tidak wajar.
4. Bermitra dengan lembaga penegak hukum bila ditemukan indikasi penyimpangan lebih serius.
Kesimpulan
Dokumen administratif penting untuk akuntabilitas formal, tapi belum cukup menjadi pegangan dalam menilai integritas ASN. Ketidakwajaran gaya hidup—seperti kepala sekolah yang mampu memiliki aset mahal secara mencolok—seharusnya menjadi alarm yang menyertai verifikasi dokumen.
Jika inspektorat mampu menggabungkan pengawasan administratif dengan pengamatan sosial, maka birokrasi tidak hanya akan bersih di atas kertas, tetapi juga di mata publik. Sebaliknya, bila terlalu nyaman di zona “laporan saja”, praktik penyimpangan akan terus tersembunyi.
Catatan : Penulis adalah ketua ppwi kabupaten Lebak
Posting Komentar