Tak Hanya Penjaga Hutan, Orang Muda Papua Tuntut Hak di Forum Iklim Dunia
Jakarta, BeritaKilat.com - . Saat hutan hujan kian hilang dan suhu bumi yang terus naik, ada suara-suara yang menolak menyerah. Mereka bukan menteri, bukan negosiator, bukan diplomat. Mereka adalah orang muda, sebagian bahkan belum genap 25 tahun, yang memilih berdiri melawan diam, dan akan membawa suara dari tanah kelahiran mereka ke ruang paling strategis di dunia: Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, COP30, di Brasil. Kamis, 3 Juli 2025.
Salah satu dari mereka adalah Iqbal Kaplele, 25, pemuda adat dari Suku Sobey, Papua. Lahir di tengah kedamaian hutan wilayah adat Mamta, Iqbal tumbuh menyaksikan kehijauan yang perlahan memudar.
“Kita harus berhenti berpura-pura Bumi baik-baik saja. Kami, orang muda, adalah yang paling terdampak krisis iklim, tapi justru paling jarang diajak bicara,” kata Iqbal, yang kini menjadi aktivis lingkungan dari Papua Trada Sampah.
Pernyataan Iqbal bukan sekadar opini pribadi. Ini adalah kenyataan yang dihadapi jutaan orang muda di belahan dunia Selatan. Generasi muda adalah kelompok yang akan mewarisi dampak paling panjang dari krisis iklim, karena mereka menjalani masa depan yang dibentuk oleh keputusan-keputusan hari ini. Ironisnya, mereka masih sering dikecualikan dari proses pengambilan keputusan.
Di tengah dunia yang memanas, keterbatasan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, informasi, serta tekanan mental akibat ketidakpastian masa depan, keterlibatan mereka dalam forum seperti COP30 adalah wujud hak yang harus diakui.
Bersama Vanessa Reba, 24, dari Gerakan Malamoi, yang juga aktif dalam pemberdayaan pemuda, Iqbal tergabung dalam 23 pemuda Indonesia yang menyusun Deklarasi Pemuda Global untuk Keadilan Iklim melalui inisiatif organisasi Kolombia, Life of Pachamama.
Bersama ratusan orang muda dari berbagai negara, deklarasi ini akan disampaikan langsung dalam forum resmi COP30, yang akan digelar pada November 2025 di Belém, Brasil. Deklarasi ini menegaskan bahwa orang muda tidak boleh diposisikan sekadar sebagai penerima kebijakan, melainkan sebagai aktor kunci dalam mengatasi krisis iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan mewujudkan keadilan lingkungan.
Vanessa mengungkapkan, “Melalui deklarasi ini, saya berharap bahwa suara orang muda, terutama dari kelompok yang terpinggirkan secara geografis dan struktural, dapat benar-benar diakui dan diberi ruang dalam pengambilan keputusan global. Keterlibatan ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan saya sebagai advokat muda adat yang berkomitmen membawa perubahan dari akar, membangun masa depan yang adil dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.”
Tanah yang Luka
Vanessa dan Iqbal membawa cerita dari tanah yang tak hanya kaya sumber daya, tapi juga luka. Papua kini perlahan terkikis oleh ekspansi tambang dan perkebunan. Namun dari tanah yang tergerus, suara mereka justru tumbuh paling kuat.
“Sebagai orang asli Papua, saya selalu merasa memiliki ikatan kuat dengan akar budaya saya dan tanggung jawab besar untuk berkontribusi bagi komunitas saya,” ujar Vanessa yang berasal dari Suku Saireri. Ia juga terus berjejaring bersama orang muda di berbagai wilayah melalui berbagai macam organisasi di Indonesia.
Sebagai pemuda adat, Iqbal menyoroti masih terbatasnya ruang formal yang benar-benar memberikan tempat bagi suara orang muda dalam kebijakan iklim di Indonesia. “Tantangan terbesar yang saya hadapi sebagai pemuda adat adalah sempitnya ruang partisipasi bagi orang muda dalam pengambilan keputusan iklim. Meski ada mekanisme seperti Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dan Forum Anak Indonesia, keduanya belum efektif dan perlu dievaluasi agar benar-benar melibatkan suara pemuda dalam kebijakan, termasuk iklim,” ujarnya.
Ia juga percaya bahwa keterlibatannya dalam deklarasi global ini mempunyai makna besar bagi komunitas lokal dan wilayah adatnya. “Terutama tanah Papua yang termasuk benteng terakhir pertahanan iklim dunia setelah rusaknya sebagian besar Hutan Amazon, dan sebagai benteng terakhir bagi Indonesia melawan laju krisis iklim global setelah rusaknya hutan Sumatera dan Kalimantan,” tambahnya.
Keterlibatan mereka dalam deklarasi ini dimulai dari program pelatihan pemuda oleh Life of Pachamama, yang mempertemukan orang muda dari seluruh dunia dalam diskusi soal demokratisasi ruang iklim. Deklarasi ini disusun lebih dari 600 pemuda dari berbagai belahan dunia. Hal tersebut merupakan hasil dari 30 lebih sesi pelatihan dan dialog intergenerasional yang mendalam, mengangkat isu keterlibatan pemuda, keadilan iklim, hak atas informasi, dan perlindungan pembela lingkungan.
Deklarasi tersebut memuat seruan moral dan agenda konkret dalam peta jalan pemuda menuju COP30. Lima agenda utama yang mereka bawa adalah: memastikan partisipasi yang bermakna dalam kebijakan lingkungan, memperjuangkan desentralisasi berbasis wilayah, menuntut akuntabilitas korporasi atas kerusakan lingkungan, melindungi pembela lingkungan muda, serta mendorong keterbukaan informasi dan pembentukan observatorium pemuda.
Tiga Isu Besar
Direktur Eksekutif Life of Pachamama, Juan David Amaya, menegaskan bahwa deklarasi ini bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi pernyataan strategis atas peran yang harus diemban oleh pemuda dari belahan dunia Selatan dalam membentuk tata kelola sosial-lingkungan dunia.
“Deklarasi ini adalah afirmasi politik dan strategis atas peran pemuda dari belahan dunia Selatan dalam membentuk arah tata kelola sosial-lingkungan global. Ini bukan sekadar simbolik, melainkan latihan kepemimpinan yang memiliki kapasitas dan legitimasi,” ujarnya.
Bagi Iqbal, suara yang ia bawa ke COP30 merupakan cerminan dari perjuangan panjang masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan dalam diskusi iklim global. Keterlibatannya membawa tanggung jawab besar. “Saya akan membawa tiga isu besar dari Indonesia ke COP30: hak masyarakat adat, deforestasi, dan pertambangan. Kalau kita serius dalam menangani perubahan iklim, RUU Masyarakat Adat merupakan solusi iklim yang kritikal,” katanya lantang.
Pernyataan Iqbal mengandung semangat yang dirasakan oleh banyak orang muda di seluruh dunia yang menghadapi ketimpangan yang sama dalam krisis iklim.
“Orang muda di seluruh dunia harus bangkit, keluarlah dan hentikan sistem yang terus mengeksploitasi sumber daya alam tanpa peduli pada keberlanjutannya. Indonesia juga harus berhenti mengkriminalisasikan masyarakat adat dan pemuda yang berjuang karena mereka bersuara untuk udara yang layak,” ujar Iqbal lagi.
Di COP30, Iqbal, Vanessa dan rekan-rekannya menuntut ruang, hak, dan keadilan. Dan dunia harus berhenti merumuskan masa depan tanpa melibatkan generasi yang akan menjalaninya.
###
Tentang Life Of Pachamama
Life of Pachamama adalah organisasi yang berbasis di Kolombia dan dipimpin oleh orang muda. Organisasi ini bekerja untuk memajukan keadilan iklim dan pendidikan lingkungan, mengintegrasikan isu-isu iklim ke dalam wacana publik, serta mendorong agar isu sosial-lingkungan menjadi bagian dari kebijakan pemerintah. Life of Pachamama memperjuangkan pengakuan terhadap suara anak-anak, remaja, dan pemuda dalam ruang-ruang negosiasi negara. Mereka mengedepankan pendekatan intergenerasional dan interseksional untuk mendorong tata kelola lingkungan yang demokratis, inklusif, dan berkeadilan.
Tentang COP30
COP30 adalah Conference of the Parties (COP) ke-30 dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang akan diselenggarakan pada 10–21 November 2025 di Belém, Brasil. Pertemuan tahunan ini menjadi forum global tempat para pemimpin dunia, ilmuwan, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil berkumpul untuk merumuskan langkah-langkah kolektif dalam mengatasi perubahan iklim, dampak sosial-lingkungannya, serta transisi menuju masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan. (*)
Posting Komentar