Oleh: Wilson Lalengke*)
Jakarta, BeritaKilat.Com – Anda Ketinggalan Informasi? “Siapa menguasai informasi dia menguasai dunia”. Hampir semua orang yang mendengar ungkapan tersebut percaya akan kebenarannya. Dan ini memang bukan omong-kosong, realitas telah memberikan bukti di sepanjang sejarah manusia. Seseorang yang memiliki informasi selalu memenangkan (baca: menguasai) setiap kesempatan yang ada. Tidak sulit untuk dipahami mengapa pelajar-pelajar di luar negeri, terutama yang dibiayai oleh program beasiswa pemerintah maupun organisasi pemberi beasiswa, didominasi oleh anak-anak dari Jakarta. Bilapun terdapat mereka dari luar daerah, paling tidak hampir dipastikan mereka adalah dari kota-kota besar di Jawa, dan sebagian terkecil lagi dari luar daerah. Hal ini disebabkan oleh tingginya disparitas atau perbedaan tingkat penyebaran informasi antara Jakarta (termasuk kota-kota besar) dengan daerah lain di Indonesia. Jakarta adalah pusat hampir semua informasi dalam negeri di Indonesia. Perbedaan ini secara sadar atau tidak telah menciptakan “perbedaan hak” mendapatkan kesempatan belajar melalui beasiswa antara masyarakat ibukota dengan daerah-daerah lain di nusantara. Paling tidak ada dua unsur utama yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa perbedaan akses informasi itu menyebabkan “perbedaan hak” bisa terjadi. Pertama, momentum mendapatkan informasi. Rentang waktu diterimanya sebuah informasi yang berbeda antara masyarakat Jakarta dengan mereka yang berdiam di daerah menyebabkan pemilik informasi tercepat yang notabene berdomisili di Jakarta mendapat “hak” lebih cepat yang memungkinkan dia mempunyai peluang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan informasi terkemudian. Kedua, jarak akses antara penerima informasi dengan sumber informasi. Semakin dekat seseorang dengan sumber informasi maka dia akan menguasai informasi itu lebih utuh, akurat dan tepat waktu yang pada gilirannya akan memberinya ruang yang cukup untuk mempersiapkan diri mengantisipasi peluang-peluang yang tersedia. Sebagai pusat informasi nasional, masyarakat Jakarta sangat diuntungkan dan akhirnya lebih menguasai kesempatan-kesempatan untuk maju dan berkembang, tidak hanya di bidang pendidikan seperti ilustrasi di atas, tetapi juga di hampir semua sektor hidup kemanusiaan dan kenegaraan kita. Kekuatan Media Massa = Kekuatan Tuhan! Peran informasi, sesederhana apapun bentuk dan sistem informasi itu adanya, tidak pelak merupakan penentu keberhasilan usaha apapun yang dilakukan setiap orang. Kemenangan dan kegagalan dalam sebuah peperangan amat ditentukan oleh kehandalan agen spionase dan inteligen yang tugas utamanya mengumpulkan informasi dari musuh masing-masing pihak yang bertikai. Kemajuan penjualan produk sebuah perusahaan, yang menjadi tumpuan mati-hidupnya perusahaan itu, sangat tergantung kepada peran promosi dan iklan yang tidak lain berisi informasi tentang produk dan proses menginformasikannya kepada calon konsumen. Keberhasilan pendidikan tiada terlepas dari kualitas informasi dan metode transformasi informasi tentang ilmu pengetahuan antara pengajar dengan pembelajar di lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan keberhasilan pertanian di masyarakat tradisional di jaman pra-sejarah – masyarakat buta huruf – juga ditentukan oleh ketersediaan informasi yang umumnya didapatkan dari tanda-tanda alam seperti bintang, arah angin, bunga tumbuhan tertentu hingga suara dan gerak khusus binatang sekitar. 2 Menurut penelitian terbaru di China, bahkan bencana alam dapat diantisipasi melalui informasi berupa sinyal-sinyal khusus yang diberikan oleh ular. Di era moderen yang penuh kompleksitas saat ini, peran informasi justru tidak dapat diabaikan sama sekali. Informasi adalah hidup manusia itu sendiri. Merasuk dan menentukan segalanya di bidang apapun jua. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem transformasi atau lalu lintas informasi juga berkembang, berubah, menyesuaikan diri dengan situasi dan tuntutan kebutuhan zamannya. Dahulu kala masyarakat hanya mengandalkan berita dari orang per orang melalui proses verbal, suara dari mulut ke mulut, dan kemudian berkembang kepada bentuk tulis dan baca. Pada mulanya manusia hanya mampu saling berkomunikasi antar individu satu dengan seorang individu lain, sementara saat ini seseorang bisa menyampaikan informasi kepada banyak orang bahkan tiada terhitung jumlah penerima informasinya. Dalam hal sistim pertukaran informasi seperti terakhir ini, dari satu pihak kepada banyak orang/pihak, manusia membutuhkan wadah khusus yang dinamakan “media massa”. Sebagai pilar utama penghimpun dan penyampai berbagai informasi, media massa beroleh tempat yang maha tinggi dalam konstelasi interaksi kehidupan manusia, bangsa, negara, dan antar negara di tingkat internasional. Bagaimana tidak, media massa telah menjadi rumah produksi bagi menghasilkan informasi (termasuk data-data) yang akan didistribusikan bagi warga masyarakat banyak sebagai konsumen berbagai informasi itu. Oleh karenanya bukan suatu yang aneh jika sebahagian terbesar orang percaya bahwa takdir manusia sesungguhnya ditentukan oleh media massa. Sukes dan bangkrutnya seorang pengusaha, misalnya, dapat dikendalikan oleh keinginan media massa. Kasus mantan pimpinan Bank Dunia dan British Petroleum, Paul Wolfowitz dan Edmund John Philip Browne, hanya dua kasus yang terjadi pertengahan tahun lalu sebagai contoh saja. Kejatuhan tragis mereka adalah sukses besar hasil kerja media yang telah mengekspos berbagai informasi tentang skandal yang melingkupi kehidupan keduanya. Padahal kualifikasi mereka sebagai pejabat professional sangat sulit dicari bandingannya, mereka memiliki reputasi kerja terbaik di bidangnya masing-masing, cerdas, disiplin dan disegani di tingkat dunia. Tapi semua itu tidak bermakna sama sekali di tangan media massa. Di bidang politik dan pemerintahan negara, peran dan kekuatan media massa tidak berbeda, bahkan cenderung lebih berkuasa. Bila kita sering mendengar slogan “politik adalah panglima” atau “hukum adalah panglima”, maka semua itu amat diragukan kebenarannya. Yang banyak orang setuju justru “media massa adalah raja”, dan bahkan lebih ekstrim lagi: “media massa adalah hukum”. Lihat saja buktinya bertebaran di mana-mana. Media massa dapat menentukan siapa yang harus jadi presiden, siapa bakal gubernur dan bupati, bahkan kemana arwah Suharto setelah wafat. Media massa yang menentukan mati hidupnya Tibo cs serta Amrosi dan kawan-kawan. Tidak sukar sebenarnya menduga mengapa proses penyelesaian masalah bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo itu bisa berlarut-larut dan bahkan sangat mungkin tidak akan pernah selesai. Penyebab utamanya adalah karena media massa tidak berpihak kepada para korban, rakyat kecil yang tidak memiliki apa-apa untuk “menjamu” para pemilik dan pekerja media massa mainstream nasional. Akibatnya, berita-berita tentang persoalan Lapindo hanya sebatas basa-basi, laporan pandangan mata, kutip pendapat sana-sini, dan seterusnya, bahkan cenderung mengelabui masyarakat pengonsumsi informasi yang disajikan. Bila dicermati dengan teliti, sesungguhnya perubahan-perubahan besar dan mendasar yang terjadi sepanjang sejarah-sejarah dunia, dan juga Indonesia sebagai sebuah negara, justru boleh berlangsung karena kerja media massa. Perjuangan kemerdekaan dan keberhasilan mempertahankannya tidak lain merupakan buah dari selebaran dan surat kabar gelap yang digencarkan oleh para tokoh perintis kemerdekaan waktu itu. Turunnya Soekarno dari tampuk pemerintahan di pertengahan dekade 1960- an dan menaikkan Soeharto, pada hakekatnya bukan pekerjaan gerakan pemuda dan mahasiswa. 3 Demikian juga peristiwa lengsernya Soeharto di pertengahan tahun 1998, yang oleh hampir semua kalangan dianggap sebagai mbah koruptor yang bakal melegenda sepanjang masa, tidaklah pas untuk dikatakan sebagai hasil perjuangan mahasiswa dan pemuda Indonesia. Peran mereka secara kasat mata dalam setiap epilog sejarah bangsa memang benar adanya. Tetapi sesungguhnya, aksi-aksi mereka (pemuda dan mahasiswa) dengan turun ke jalan hanyalah sebuah kekuatan semu sebagai hasil ciptaan media massa. Dengan lain kata, pemuda dan mahasiswa tidak lebih dari bidak-bidak catur media massa yang menjadi salah satu komponen bagi permainan media informasi saja. Kehandalan dan kelihaian media massa sebagai mesin produksi yang menghasilkan ramuan informasi yang jitu, siap saji dan disuapkan kepada masyarakat, inilah sebenarnya kekuatan maha besar yang membuat para penguasa itu menggelepar tak berdaya. Kasus Yahya Zaini, politisi kuat dari partai kuat, Partai Golkar, harus “menangis-meradang” akibat skandal honeymoon-nya dengan Maria Eva yang dipreteli media massa. Demikianlah, Napoleon Bonaparte selalu terbirit-birit menghilang bila melihat jurnalist mendekatinya. Lebih jauh, bila manusia mau jujur mengakuinya, sesungguhnya para nabi atau tokoh sentral agamaagama yang ada, dan yang pernah ada, di dunia ini bisa terkenal hingga ke ujung-ujung dunia dan “ke negeri China”, tidak terlepas dari peran media massa. Yesus-nya kaum Kristiani atau diakui sebagai Nabi Isa oleh kalangan Islam bukanlah siapa-siapa pada awalnya. Ia hanyalah seorang anak tukang kayu yang miskin. Dan bahkan banyak orang percaya bahwa ia hanya seorang manusia “kurang waras” atau mungkin seorang anak yang memiliki IQ di atas rata-rata, atau semacam anak indigo yang dikenal bertebaran di mana-mana saat ini. Namun, kehadiran Yesus kemudian mulai merambah ranah pengetahuan manusia di seputaran Timur Tengah dan daerah Balkan sekitar 3 tahun setelah ia wafat. Ketenarannya itu merupakan hasil kerja media massa yang dipromosikan dengan ungkapan “kabar gembira” melalui surat-surat Paulus, para penginjil, dan kemudian secara massal melalui kitab sucinya orang Kristen, Alkitab. Alkitab, yang sering diartikan sebagai kitab (buku) di atas segala kitab, tidak lain merupakan media massa yang telah menjadi mesin informasi tentang Yesus. Seperti halnya dengan ketenaran Yesus, nabinya kaum muslim, Nabi Muhammad, juga sama dan sebangun, terkenal melalui jalur media massa yakni Al-Quran. Bukankah Al-Quran dapat diartikan quran di atas segala quran? Kata “quran” adalah bahasa Arab yang asal katanya “kara’a”, yang berarti “dia membaca” atau “dia mengatakan”. Kata quran ini juga merepresentasikan kata “keryana”, yang artinya “catatan bacaan” atau bahan pelajaran. Kata quran inilah yang diadopsi masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia menjadi “koran”. Secara harfiah, koran tidak lain adalah surat kabar. Surat kabar adalah salah satu bentuk real media massa yang isinya berupa informasi hasil olahan pengelola surat kabar. Dengan pemahaman ini, dapat dibangun asumsi bahwa kebudayaan Islam yang terbangun sejak awal hingga kini tidak lain merupakan hasil bentukan media massa Nabi Muhammad yang disebut Al-Quran. Media massa Alkitab dan Al-Quran telah menentukan kedua figur itu untuk menjadi nabi, pemimpin, panutan, idola, juru selamat, bahkan menjadi Tuhan. Seandainya Alkitab dan Al-Quran menceritakan tokoh Yesus dan Muhammad sebagai iblis, kuntilanak, atau genderuwo, maka akan seperti itulah wajah dan sosok keduanya. Sama seperti almarhumah Lady Diana yang jadi legenda calon permaisuri pujaan di seantero dunia akibat pemberitaan media massa tentangnya. Padahal ia tidak lebih dari seorang wanita binal, berpacaran sana-sini semasa hidupnya dengan alasan kesepian semenjak berpisah dengan suaminya, Pangeran Charles, pewaris tahta kerajaan Inggris. Sesungguhnya media massa, dalam bentuk apapun, dimanapun, dan kapanpun eksisnya media massa itu, pada hakekatnya merupakan media informasi yang mewarisi kekuatan Tuhan. Dan olehnya, hidup dan kehidupan manusia sepanjang sejarahnya ditentukan oleh media massa. 4 Memperkuat Geraham Pengunyah Informasi Suatu hal yang pasti bahwa salah satu sifat umum manusia di manapun, terutama dalam kelompokkelompok terbatas, adalah berbagi cerita antar satu dengan lainya. Bukan hal aneh jika di setiap kerumunan para remaja, gadis belia, sopir dan tukang becak, arisan ibu-ibu PKK, bahkan di lobi-lobi kantor parlemen selalu riuh dengan seliweran cerita dan berita yang disampaikan ala “gosip” antar anggota kumpulan. Di setiap sudut pasar, tepian sawah dan sudut pabrik, sekolah, perkantoran, hingga ke mall dan pusat perbelanjaan hampir dipastikan terdapat obrolan dan perbincangan dengan beragam topik, dari yang ringan-renyah sampai ke masalah rumit yang menyerempet persoalan ekonomi, sosial hingga ke politik. “Obrolan Warung Kopi” adalah salah satu istilah yang telah menjadi trade mark tersendiri di masyarakat kita tentang proses berbagi cerita, berita, informasi, dan sering juga gagasan serta idealisme antar warga masyarakat. Pada konteks yang lebih resmi, pertukaran informasi terjadi begitu intens di berbagai kalangan pendidikan, antar siswa, mahasiswa, guru dan dosen; berlangsung di seminar-seminar, mimbar umum, dan di ruang-ruang publik yang lebih “terencana dan terkendali” seperti di acara talk-show, dialog interaktif, workshop, dan lain-lain. “Obrolan Produktif” seperti ini juga berlangsung setiap hari di kantor-kantor pemerintah, swasta, dan rapat atau pertemuan resmi lainnya. Mungkin karena sifat kegiatan bertukar cerita, berita, informasi, data dan pemikiran yang lebih terprogram dan terarah, ditambah penggunaan aturan bertukar informasi standar yang ada, maka pada pertemuan-pertemuan tersebut umumnya terjadi perkawinan antar informasi dan ide yang baik, harmonis, dan bahkan tiba pada komitmen-komitmen yang produktif. Suatu hal yang juga dapat dipastikan bahwa setiap penyampaian dan pertukaran informasi selalu diikuti oleh konsekwensi logis atas pertukaran tersebut, yakni terbagi (baca: tersebarnya) sebuah informasi dari satu orang kepada yang lainnya. Ketika sebuah informasi, betapapun sederhananya substansi dan cara penyampaiannya, tersebar dari satu orang ke pihak lainnya, hal tersebut senantiasa akan memberi dampak pada pola pikir dan perilaku setiap penerima informasi yang tersebar itu. Besaran akibat yang ditimbulkan oleh proses penyebaran informasi memang akan berbeda tingkatannya antara satu orang dengan lainnya, antara satu komunitas dengan komunitas yang lain. Perbedaan itu juga akan terlihat dari besar kecilnya jumlah orang yang terlibat dan lama atau singkatnya sebuah “dampak informasi”. Ketika tiba pada poin besaran jumlah orang dan durasi pengaruh informasi inilah, peran media massa menjadi sebuah sosok dua muka yang fenomenal: “monster baik” dan “monster jahat”. Dengan sifat kebaikannya yang luar biasa, sistem penyebaran informasi melalui kerja jurnalistik dan publikasi media massa telah menghasilkan rentetan karya demi karya luar biasa dari anak manusia di setiap sudut jagad raya, terus berkelanjutan tiada henti dari masa berganti zaman. Sudah bukan barang aneh jika cerita-cerita “khayalan” tentang zamrud di timur jauh yang berseliweran di kalangan bangsawan eropa pada abad pertengahan telah menghasilkan penaklukan samudra maha luas secara spektakuler sepanjang zaman. Penemuan benua demi benua, lautan demi lautan, kutub demi kutub, lengkap dengan kekayaan sumber daya yang dikandungnya menjadi buah bibir lanjutan, menyebar dari satu pihak ke pihak lain, yang menghasilkan hentakan perburuan dan penemuan lanjutan yang bahkan semakin cepat, dinamis, agresif, dan terkadang terkesan seperti perlombaan. Tidak berlebihan kiranya jika Napoleon Bonaparte mengatakan “Aku perlu 10 ribu pasukan untuk memenangkan sebuah perang, tapi butuh seorang kuli tinta saja untuk menaklukan dunia”. Ya, media masa secara mutlak telah menjadi penentu arah pergerakan kebudayaan dunia, sejak awal, kini, dan selanjutnya ke akhir waktu. Secara mutlak pula, “sifat jahat” media massa menjadi alat penghancur manusia dan kebudayaannya. Peristiwa Mbah Priok dan Kerusuhan Kosambi di seputaran Ibukota Jakarta beberapa waktu lalu adalah dua contoh kasus saja yang kebetulan masih segar di ingatan warga masyarakat sebagai akibat 5 buruk dari publikasi informasi melalui media massa. Tayangan langsung tindakan brutal “oknum” Satuan Pamong Praja (Satpol-PP) terhadap beberapa orang warga telah memicu eskalasi puluhan ribu massa berbondong-bondong ke lokasi kejadian untuk menumpahkan rasa amarah sebagai respon atas informasi yang mereka terima. Kejadian darah tertumpah, pembakaran dan perusakan fasilitas yang ada, serta rentetan tindakan anarkis lainnya seakan tidak dapat dihindarkan. Peristiwa serupa walau tidak sebangun berulang dan berulang di mana-mana sudut negeri, di berbagai belahan dunia, bahkan sejak keberadaan manusia partama di bumi ini. Nilai nyawa manusia tidak lebih baik dari kertas tissue pembersih toilet di tangan media massa. Tidak berlebihan pula, jika si gagah perkasa di medan perang Napoleon Bonaparte buru-buru lari terbirit bila berhadapan dengan si kuli tinta, prajurit “umpan peluru” terdepan para pemilik media massa. Sesungguhnya, semua informasi dan proses publikasi media massa secara fisik tidak bermakna apaapa. Juga tidak akan menimbulkan dampak apapun terhadap apapun dan siapapun. Kertas koran, televisi, radio dan media apapun juga tidak punya kuasa apa-apa, walau hanya sekedar memindahkan dirinya sendiri, walaupun isinya adalah informasi tentang penemuan lokasi surga oleh seorang penerbang angkasa luar. Betapa sangat lumrah kita temui kertas koran hanya sekedar jadi pembungkus kacang dan cabai di pasar-pasar tradisional di seantero negeri. Sebenarnya, harus disadari bahwa persoalan justru muncul ketika sebuah informasi, sekecil dan sesederhana apapun informasi itu, yang disampaikan ke publik (masyarakat umum) memiliki daya potensial yang amat besar untuk direspon oleh publik. Artinya, sebuah informasi di koran misalnya, tidak berarti apa-apa jika tidak mendapatkan umpan balik dari pembacanya. Oleh karena itu, semua persoalan publikasi informasi di media massa hakekatnya ada pada pihak publik, di sisi masyarakat umum, bukan pada informasi dan/atau media massa dengan segala perangkatnya. Dalam bahasa sederhana, masalah yang muncul sebagai akibat publikasi informasi sebenarnya terletak pada bentuk respon atau reaksi masyarakat dan cara mengekspresikan respon masyarakat terhadap informasi yang diterimanya. “Reaksi publik” atas setiap informasi yang disajikan media massa adalah kata kunci yang harus menjadi landasan berpijak dalam membedah persoalan publikasi dan media massa. Suatu informasi dari sumber yang sama akan direspon secara berbeda oleh masyarakat dari daerah/negara yang berbeda. Reaksi masyarkat juga selalu berbeda disebabkan faktor kedekatan warga dengan substansi informasi yang disampaikan media massa, misalnya: reaksi masyarakat Indonesia cenderung reaktif dibandingkan dengan masyarakat Philipina atau Thailand ketika merespon informasi tentang konflik yang terjadi di Palestina. Hal ini lebih disebabkan oleh kedekatan emosional antara penerima informasi di Indonesia yang yang mayoritas muslim – yang notabene mempunyai hubungan erat dengan negeri Arab – dibandingkan dengan pembaca dari wilayah lain yang penduduknya mayoritas non-muslim. Pada tataran yang lebih mikro, penerimaan suatu informasi dan pemberian tanggapan atas-nya terlihat berbeda antar orang per orang. Kadangkala, perbedaan itu tidak hanya disebabkan oleh faktor kedekatan substansi, namun lebih kepada alasan yang sederhana, semisal “Siapa sih yang memberi info-nya? Tukang sapu? Ah, tidak penting!” dan lain-lain sebab. Intinya, adalah bahwa pokok persoalan yang harus menjadi titik tumpu dalam menyikapi fenomena media massa dan publikasi informasi adalah pola pikir (mind-set) dari para konsumen informasi/media, yakni masyarakat itu sendiri baik secara individu maupun bersama-sama. Efek dan dampak pemberitaan media massa sangat ditentukan oleh seberapa cerdas masyarakat suatu komunitas mencerna sebuah informasi. “Cerdas media” atau lebih populer dengan istilah “melek media” adalah idiom penting yang mutlak menjadi kosa kota semua kita. Informasi dan publikasi media massa mau-tidak-mau menjadi bagian kehidupan sehari-hari setiap orang, melingkupi hampir seluruh elemen Berkaitan dengan itu, usaha pencerdasan masyarakat umum terhadap media adalah hal paling aktual dan tidak dapat ditawartawar. Hanya dengan menyediakan program pemberdayaan rakyat yang langsung melibatkan setiap individu rakyat, akan memampukan mereka “mengunyah” setiap informasi, betapapun keras, liat, dan kuatnya nuansa “provokasi” yang terkandung dalam sebuah informasi. Ibarat makan, menumbuhkan 6 “gigi geraham pengunyah informasi” adalah hal teramat mutlak, karena dengan demikian setiap anggota masyarakat akan mampu menelan informasi secara benar setelah melalui proses mengunyah dengan baik. Bila hal itu terjadi, respon yang muncul menyikapi isu yang diinformasikan tentunya akan lebih konstruktif, logis, dan positif. Fakta di sepanjang sejarah membuktikan bahwa penikmat manfaat terbesar dari kehadiran media masa umumnya terbatas kepada para pemegang kepentingan di balik penyebaran informasi yang termuat di dalamnya. Secara kasat mata, pemangku kepentingan di dunia publikasi media massa berkaitan erat dengan ekonomi dan politik. Media massa pada umumnya dikooptasi oleh kepentingan kelompok pengusaha dan politikus. Pada tataran kehidupan bermasyarakat, amat jarang media massa mampu menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat banyak, terutama di level paling bawah. Bilapun kalangan media membutuhkan masyarakat, hanya sebatas sebagai sumber muatan media massanya belaka atau sekedar sebagai konsumen produk media massa semata. Faktor utama lepasnya keberpihakan media massa terhadap kepentingan rakyat banyak adalah karena minimnya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses publikasi dan pengelolaan media massa. Kontribusi yang nyaris nihil tersebut menciptakan jurang pemisah yang amat dalam dan lebar antara kepentingan elit media massa dengan anggota masyarakat yang notabene adalah konsumen sekaligus sumber kekayaan informasi penyuplai karya jurnalistik yang mereka produksi. Ketiadaan jembatan penghubung kepentingan kalangan media massa dengan kebutuhan warga masyarakat menjadi penghambat utama yang perlu diatasi. Menunggu kepedulian media massa melakukan sesuatu untuk menyelesaikan persoalan tersebut hampir menjadi sesuatu kemustahilan. Terbukti selama ratusan tahun sejak revolusi teknologi publikasi media massa berlangsung, hampir tidak ada celah bagi rakyat kebanyakan boleh mengambil peran di bidang publikasi media masa. Regulasi yang ditunggangi oleh jargon “demi kepentingan bersama” hasil perselingkuhan elit media massa dengan politikus dan penguasa pemerintahan negara semakin memupuskan harapan rakyat jelata untuk beranjak dari sekedar sebagai mangsa santapan segar “monster informasi” setiap harinya. Diskursus panjang dapat saja terjadi ketika media mainstream dengan lugas memberikan argumen telak bahwa ketersediaan ruang dan durasi waktu yang tersedia amat sangat terbatas sehingga amat mustahil untuk mengakomodasi tulisan, artikel, foto, video, atau informasi bentuk lainnya dari masyarakat kebanyakan di media-media itu. Kualitas hasil karya masyarakat umum yang notabene tidak memiliki keahlian yang mumpuni di bidang jurnalistik menjadikan media arus utama tidak dapat berbuat banyak. Persoalan “dapur ngebul”-nya sebuah perusahaan pengelola media massa yang harus mempertimbangkan faktor bisnis ketimbang mengerjakan hal-hal yang membawa kerugian finasial adalah penambah daftar faktor penghambat masyarakat banyak menembus media mainstream. Jadilah segala sesuatu yang dikerjakan oleh para pekerja media konvensional harus mengikuti standar tertentu bila ingin eksis sebagai sebuah agen informasi publik. Secara umum, ada lima hal yang senantiasa menjadi panduan perusahaan media massa untuk dapat tumbuh berkembang dengan baik dalam berkarya maupun secara finansial. Pertama, segala sesuatu yang akan dipublikasikan harus melalui perencanaan (by design) yang matang. Adalah hal yang umum bagi segala macam aktivitas manusia, membuat perencanaan yang matang terlebih dahulu suatu kegiatan sebelum mengimplementasikannya. Semua itu ditujukan semata-mata untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Demikian juga dalam proses publikasi sebuah informasi, dibutuhkan langkah perencanaan agar tujuan publikasi dimaksud tercapai. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan sebuah media publikasi, seperti juga pada usaha dan kerja manusia di bidang lainnya, ditentukan oleh perencanaan. Kedua, penyelenggara media massa telah menetapkan standar bagi sesuatu hasil karya jurnalistik (standardized). Artinya, setiap hasil kerja para wartawan dan karyawan sebuah media massa harus 7 sesuai patron yang telah ditetapkan pemilik perusahaan. Rentetan dari proses merencanakan di poin pertama di atas, maka sangat pasti bahwa segala kegiatan dan bentuk pemberitaan akan mengikuti format yang sudah ditetapkan sebelumnya. Mengikuti patron adalah sebuah keharusan dan mesti dijalankan dengan disiplin yang tinggi. Bila melenceng sedikit saja, dapat diduga hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan akibat tidak mengikuti standar yang sudah ditetapkan saat perencanaan dibuat. Ketiga, hasil karya jurnalistik yang akan dipublikasikan senantiasa harus berada dalam kendali pemilik modal media massa. Idealisme setiap pekerja media massa, terutama wartawan, akan selalu berada dalam bayang-bayang tali kekang (leaded and forced) yang akan menentukan arah makna dan perspektif suatu tulisan atau berita gambar. Dalam ilmu manajemen moderen, faktor pengawasan (controlling) merupakan kemutlakan. Perusahaan media massa yang padat modal akan melakukan control yang sangat ketat terhadap tidak saja proses produksi tetapi juga pada hasil produksi berupa informasi yang dikeluarkan ke publik. Oleh karenanya, semua bentuk dan macam informasi yang tersaji di media massa professional, baik cetak, elektronik maupun online, selamanya adalah hasil rekayasa di bawah kendali pemilik media dan pemilik modal. Keempat, melalui proses yang dipandu oleh point pertama, kedua dan ketiga di atas, maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil karya jurnalistik sang penulis/wartawan akan terformulasi dengan baik kepada suatu bentuk tertentu yang diidamkan oleh pemilik media. Idealisme seorang jurnalis akan selamanya berbenturan dengan persoalan yang tiada akan kunjung terpecahkan, yakni pemenuhan idealisme dan keinginan pembuat standar informasi yang patut dimuat atau disiarkan media bersangkutan. Wartawan professional diwajibkan tunduk pada aturan main yang telah ditentukan oleh pemilik modal perusahaan media tempat ia berkarya. Terakhir, kegiatan operasional perusahaan media selamanya akan berorientasi bisnis yang money oriented. Satu hal yang amat wajar bahwa untuk dapat beroperasi dan berkembang maju, sebuah badan usaha perlu mempertimbangkan untung/rugi dalam setiap gerak operasional perusahaannya. Tidak terkecuali badan usaha publikasi media massa. Keuntungan adalah mutlak. Bila mengabaikan hal ini, perusahaan bakal jalan di tempat atau bahkan gulung tikar dengan segera. Satu-satunya cara agar perusahaan tetap beroperasi adalah dengan menerapkan prinsip ekonomi: dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, tidak heran jika setiap media berusaha menjaring partner kerja seluas-luasnya, memperkerjakan karyawan dengan upah serendah-rendahnya, dan mengupayakan hasil produksi informasi yang berkualitas tinggi dengan kwantitas yang besar. Era keberuntungan datang mengiringi kehadiran teknologi komputer dan internet kepada masyarakat luas. Melalui ketersediaan perangkat teknologi ini sebagai pendukung utama bagi pengembangan media publikasi generasi modern, setiap orang mampu membangun dan mengembangkan media massa digital yang biasa kita kenal dengan istilah “media online”. Dengan berbagai variannya, media online telah menjadi titik balik yang menuntaskan penyelesaian jembatan penghubung antara elit media massa dengan masyarakat luas. Melalui teknologi baru ini, setiap orang tanpa kecuali dapat berperan tidak hanya sebagai kontributor atau pembagi cerita, gagasan dan impian, namun sekaligus bisa menjadi pemimpin dan penentu tunggal muatan dan tujuan media online yang dibangunnya, yang dapat diakses setiap saat di mana saja, tanpa batas ruang dan waktu. Pemberdayaan setiap warga rakyat dalam bidang penggunaan teknologi komputer dan internet serta strategi pengelolaan media online sebagai wadah publikasi berbagi informasi antar mereka menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, terutama pemangku kekuasaan pemerintahan negara. Yang jelas, hegemoni media mainstream terhadap dunia publikasi informasi melalui media massa saat ini sedang bergeser ke pola kolaborasi harmonis antar kepentingan elit media media massa dengan kebutuhan real masyarakat banyak. 8 Sifat bawaan masyarakat sebagai “tukang ngobrol”, “biang gosip”, “mulut ember”, dan sebagainya dapat menjadi aset amat potensial bagi pengembangan “jurnalisme amatiran” atau publikasi ala warga biasa. Obrolan warung kopi para tukang becak maupun obrolan produktif hasil “ngegosip” orang kantoran dan mereka yang “makan sekolahan” dapat menjadi muatan publikasi yang inspiratif dan kaya nutrisi bagi pengembangan kebudayaan masyarakat negeri ini. Tugas setiap kita hanya memindahkan kebiasaan obrolan warung kopi menjadi kebiasaan menulis, memotret, dan melukiskan peristiwa, gagasan dan impian masing-masing individu dan komunitas dan membagikannya kepada pihak lain melalui publikasi di media massa, di media online. Sekali lagi, hanya memindahkan obrolan warung kopi menjadi obrolan warung online. Dapat dibayangkan betapa maha kaya-nya negeri bernama Indonesia ini jika setiap insan yang 240 juta jiwa raykatnya menghasilkan satu karya jurnalisme ala “wartawan pemula” setiap bulan yang disebar-luaskan untuk menjadi bahan pemikiran setiap warga bangsa dan pengambil kebijakan baik skala lokal maupun di tataran nasional. Budaya obrolan warung online ini tidak hanya akan meningkatkan kemampuan jurnalistik setiap anggota masyarakat, tapi juga sebagai jalan tol yang ampuh dalam menumbuhkan gigi geraham yang kokoh untuk mengunyah sebaik-baiknya segala informasi yang disajikan oleh media massa. Media massa dan kegiatan jurnalistik harus menjadi keseharian setiap orang, menjadi sahabat dan penolong-nya setiap saat. Oleh karena itu, amat penting artinya menumbuh-kuatkan “gigi-gigi geraham pengunyah informasi” dari semua anggota masyarakat agar asupan informasi yang di sajikan media masa dapat dicerna dengan layak, menjadi sumber gizi yang kaya untuk menumbuhkembangkan sebuah pola pikir (mind-set) yang mampu melahirkan respon konstruktif bagi pembangunan peradaban dan kemanusiaan setiap komunitas masing-masing. Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas itulah, peran pemerintah, organisasi masyarakat, LSM, dan terutama dunia pendidikan dapat memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap usaha pemberdayaan setiap elemen masyarakat, terutama di tataran paling bawah, agar lebih cerdas menyikapi pemberitaan di media massa. Paradigma yang membiarkan media massa semata-mata dikelola oleh para profesional di bidang publikasi, harus dirobah kepada sebuah pemikiran bahwa media massa adalah tugas, wewenang, dan tanggung jawab setiap anggota masyarakat, yang oleh karenanya setiap orang perlu dan wajib melibatkan diri dalam setiap proses dan tahapan jurnalisme dan publikasi informasi di media massa. Secara tekhis, hal paling muda dilakukan adalah mengembangkan pola jurnalisme warga atau biasa disebut citizen journalism, yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada setiap orang untuk menjadi jurnalis warga (pewarta warga). Melalui strategi ini, setiap warga masyarakat langsung mengalami “kerja jurnalistik” sesungguhnya dan selangkah demi selangkah mereka belajar bagaimama berbagi informasi yang benar, efektif, dan efisien, sekaligus memperluas wawasannya sehingga pada gilirannya akan mampu bereaksi dengan baik ketika disuguhkan sebuah informasi dari pihak lain. Melalui pola jurnalisme warga, proses tumbuh-kembangnya gigi geraham pengunyah informasi berlangsung secara alamiah, dinamis, nyaman, dan mencapai konstruksi dasarnya yang ideal dan kokoh tanpa intervensi berlebihan dari luar. Sistim jurnalisme warga kiranya akan menjadi peretas jalan menuju penguatan dan peningkatan kemampuan setiap pembaca mengunyah informasi media massa menuju masyarakat melek media di manapun mereka berada. Saya Jadi Pewarta, Mungkinkah? Selama ini, dunia tulis-menulis, terutama yang berbau jurnalistik, cenderung didominasi oleh mereka yang secara profesional bekerja sebagai wartawan atau penulis di media massa, majalah, brosur, dan buku. Umumnya, kondisi ini tercipta karena sebagian besar orang menganggap bahwa dunia tulismenulis perlu keahlian spesial yang nota bene sering diartikan sebagai kompetensi akademis khusus jurnalisme, semisal karena menuntut ilmu di bidang jurnalistik, pengalaman bertahun-tahun sebagai 9 wartawan, dan lain-lain. Hal tersebut tidaklah salah, karena untuk menyajikan sebuah informasi yang menarik dan informatif diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu, walau pada tingkat tertentu persyaratan tersebut justru merupakan sesuatu yang absurd. Sebagai akibatnya, masyarakat kebanyakan pada akhirnya hanya menjadi konsumen belaka terhadap informasi yang telah menjadi “olahan” dari para “kuli tinta” dan “kuli disket” yang bekerja di berbagai media massa, baik nasional maupun daerah. Sebagai konsumen, kita tidak memiliki akses untuk membentuk informasi yang diterima itu sebagaimana yang kita harapkan. Dengan kata lain, informasi yang kita terima telah “masak” dan siap saji, tidak perduli apakah informasinya benar atau salah, seimbang atau berat sebelah, sesuai fakta atau tidak, dan seterusnya dan seterusnya. Otoritas pembentuk informasi yang jadi konsumsi publik lebih dominan dipegang oleh wartawan, penulis profesional, dan pemilik media massa, yang umumnya sangat dipengaruhi oleh kepentingankepentingan perorangan dan kelompok. Pada era teknologi yang amat maju saat ini, ditunjang oleh kemampuan baca-tulis dari setiap kita, setidaknya yang pernah duduk di bangku sekolah dasar, maka sudah sepantasnya masyarakat secara keseluruhan dimampukan berpartisipasi dalam menentukan isi, bentuk, dan interpretasi atas informasi-informasi di media massa. Artinya, setiap kita berhak menentukan isi berita di media massa melalui tulisan berita yang kita buat sendiri; juga setiap kita berhak untuk membentuk diri dan lingkungan kita sesuai aspirasi dan idealisme yang dimiliki dengan cara menyampaikan ide, pemikiran, dan keinginan kita secara langsung “tanpa perantara” kepada publik melalui tulisan/berita langsung masing-masing kita di koran. Dengan pola jurnalisme partisipatif seperti ini, kita dapat memberdayakan masyarakat untuk menentukan hidup dan kehidupan mereka sepanjang umurnya. Penyaluran aspirasi secara langsung di media massa juga akan berdampak kepada terhindarnya suarasuara masyarakat dari kepentingan-kepentingan politik kalangan tertentu, terutama mereka yang memiliki kolaborasi dengan media massa mainstreams (media massa utama) yang sudah menjadi rahasia umum telah terkontaminasi oleh kepentingan politik dan ekonomi semata. Aspirasi masyarakat yang penuh idealisme hidup merupakan pemikiran yang masih orisinil, dan sebaiknya disalurkan dengan tingkat kemurnian yang sama. Tentu saja, jalan terbaik adalah dengan menyampaikan aspirasi itu secara langsung, bebas, umum, dan tidak rahasia. Sebagai sebuah produk pemikiran yang dilandasi idealisme hidup yang tinggi, maka dipastikan pemikiran-pemikiran tersebut juga penuh muatan tanggung jawab yang tinggi dari setiap penulisnya. Kehadiran teknologi informasi menggunakan perangkat komputer dan internet pada dekade terakhir ini memberikan angin baru sebagai pengharapan bagi masyarakat kebanyakan untuk berpartisipasi aktif sebagai “pembuat berita”. Ungkapan “semua orang adalah pewarta” menjadi sebuah realitas. Keberadaan blog pribadi maupun kelompok adalah fenomena spektakuler yang telah melahirkan begitu banyak penulis blog setiap harinya. Semua orang hampir tanpa pengecualian dapat membuat blog sebagai “media massa” pribadi tempat menuangkan segala informasi, data, ide, pendapat, catatan harian, bahkan mengungkapkan perasaan “manusiawi”-nya setiap saat. Blog-blog itu kemudian diakses oleh banyak orang sehingga tidak berlebihan jika blog kemudian disebut “citizen journalism media”. Beberapa kalangan kemudian berinisiatif melahirkan media massa professional yang diperuntukan bagi para pelaku citizen journalism atau disebut juga citizen reporter. OhmyNews.com di Korea Selatan adalah contoh paling akurat dan terdepan sebagai media citizen reporter di level internasional. Semua orang dari seluruh dunia bisa berpartisipasi menjadi penulis atau pewarta di media massa tersebut. Di dalam negeri, halamansatu.net, wikimu.com dan panyingkul.com adalah contoh yang dikenal masyarakat, walaupun ruang peliputan dan kalangan penulisnya masih terbatas. Sebelumnya, masyarakat sudah mengenal surat pembaca di media cetak, dialog interaktif di radio-radio dan televisi, bahkan jaringan laporan khusus dari masyarakat seperti keadaan kemacetan jalan raya oleh 10 stasiun radio El-Shinta, dan sebagainya. Kegiatan jurnalistik seperti ini dikategorikan sebagai bentuk citizen journalism, atau jurnalisme warga. Berbagai media mainstream nasional maupun lokal belakangan ini juga sudah memberikan ruang bagi pelaku jurnalisme warga. WideShot di Metro-TV dan Kompassiana di Harian Kompas adalah dua contoh yang banyak digemari para citizen journalist. Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) dengan situs www.pewarta-indonesia.com bisa dikatakan sebagai media massa citizen reporter-nya rakyat Indonesia. Media massa ini dikreasi secara volunteer oleh para penulis untuk menjadi tempat berkreasi bagi semua citizen journalist yang kesulitan mendapatkan ruang di media-media lainnya. KOPI, sebagai sebuah surat kabar atau harian online, mengerti benar akan kebutuhan masyarakat modern saat ini. Kebutuhan mendasar yang berpangkal tolak dari keinginan untuk mendobrak hegemoni para profesional media massa kepada keadaan yang memberikan akses kepada setiap manusia untuk menjadi penikmat informasi yang cerdas. Oleh sebab itu, sejak awal Pewarta Indonesia tetap konsisten untuk memperluas ruang gerak setiap orang, tanpa kecuali, untuk menyalurkan ide, pemikiran, aspirasi, cita-cita dan “duka-cita” hidupnya melalui tulisan di media ini. Setiap orang diajak untuk menjadi penulis dan mengirimkan tulisan/berita dalam bentuk apapun juga sesuai keinginan masing-masing. Dengan kehadiran blog, harian online berbasis citizen reporter, dan bentuk media massa lainnya yang menerapkan sistim citizen journalism baik online, offline, maupun bentuk audio-visual, telah memberikan pencerahan bagi masyarakat untuk tidak saja sekedar sebagai “korban” informasi/berita, tapi sekaligus bisa berperan aktif sebagai pembuat dan pemasok informasi. Masyarakat umum dengan tidak melepaskan profesinya masing-masing dapat berpartisipasi membagikan informasi dan idealisme yang dimilikinya kepada orang lain. Melalui keyakinan bahwa dengan bergerak bersama, menyalurkan aspirasi murni kita bersama secara langsung di media-media citizen journalism, sebuah bangsa lambat laun akan kuat merubah kondisi bangsa dan negaranya kearah yang dicita-citakan bersama, bukan kearah yang diinginkan segelintir orang di lingkaran media massa mainstream dan para “pelacur” politik di linkungan kekuasaan. Pelakon jurnalisme sedang bergerak, sedang berubah dari hanya segelintir kepada semua orang, dari hanya para profesional kepada semua kalangan, kepada Anda pembaca modul ini; dan pergerakannya berjalan begitu cepat. Tidak hanya dari segi jumlah citizen reporter yang meningkat tajam dari waktu ke waktu, tapi juga dari sisi kualitas hasil tulisan juga semakin baik dan berpengaruh. Naiknya Roh Moo Hyun sebagai Presiden Korea Selatan di akhir tahun 2002 antara lain merupakan hasil dari kehadiran OhmyNews yang berpartisipasi aktif dalam pemilihan presiden di negara itu Desember 2002 lalu. Tidak heran jika media online ini memperoleh tempat istimewa di hati rakyat Korea; dan mendapat kesempatan pertama untuk wawancara presiden Korea Selatan berikutnya, Roh Moo Hyun. Citizen journalism adalah bagian kehidupan media di masa kini dan ia jadi harapan bagi peradaban manusia masa depan. Citizen Journalism, Gotong-royong di Era Global yang Multi Fungsi Secara umum, citizen journalism (jurnalisme warga) dapat diartikan sebagai sebuah sistim pemberitaan media massa yang dikerjakan secara bergotong-royong oleh warga masyarakat. Setiap anggota masyarakat/komunitas warga yang melibatkan diri dalam kerja gotong-royong itu sering disebut citizen reporter (pewarta warga) atau citizen journalist. Mereka adalah orang-orang yang secara sadar maupun tanpa disadari telah memberikan “sesuatu” dalam membentuk isi media – antara lain dari mereka adalah para blogger, facebook-er, anggota mailing list, jejaring-komunitas, kontributor lepas di harian-harian, maupun penelpon ke berbagai media teve dan radio. 11 Di ranah publik, informasi dipahami sebagai tidak hanya sebatas tulisan, gambar, ilustrasi, paparan lisan, tapi juga mencakup bunyi-bunyian, syair-syair, gerak-isyarat, bahasa tubuh, simbol-simbol dan lain-lain. Demikian juga, media massa diartikan tidak sebatas koran, majalah, buku, radio, televisi, dan sejenisnya, tetapi semua wadah yang digunakan manusia untuk menyampaikan informasi (pesan) dari satu pihak (individu/kelompok) kepada orang banyak, seperti surat, relief di dinding, tulisan di daun-daun, prasasti, tanda-tanda di pohon atau di tanah, peluit, gong atau tetabuhan, alat musik, kentongan, dan lain-lain. Dari pemahaman ini, sesungguhnya keberadaan citizen journalist telah ada sejak peradaban manusia di bumi ini dimulai, namun dalam konteks dan penggunaan alat komunikasi/informasi yang berbeda sesuai dengan jamanya masing-masing. Menurut Jay Rosen, citizen reporter (atau di-bahasa-indonesia-kan: pewarta warga) adalah kalangan masyarakat yang pada mulanya hanya sebagai pendengar. Pihak yang hanya berperan sebagai penerima pesan dari sistim media massa yang berlangsung satu arah saja, yakni dari media-media penyiaran (yang biaya tinggi) yang terus berlomba bersuara selantang-lantangnya, sementara pada di pihak lain para pendengar terisolasi satu sama lain. Situasi itu saat ini telah berubah total. Kondisi masyarakat sudah berubah menjadi komunitas masyarakat yang lebih dinamis dan memiliki kemampuan berpikir logis yang mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Intinya, kemajuan peradaban yang menyertai kemajuan zaman manusia dari masa ke masa telah melahirkan sebuah pola interaksi antar manusia yang berbeda antara jaman dulu dengan jaman sekarang. Hal ini tidak luput terjadi juga di dunia media massa. Dari hanya satu arah menjadi multi-arah. Dari hanya sebagai pembicara dan pendengar menjadi diskusi-interaktif, dan seterusnya. Terlebih lagi, perkembangan super canggih dari perangkat teknologi informasi mebuat dunia yang bulat ini menjadi bumi yang datar, interaksi informasi multi arah terjadi antar warga masyarakat global yang tanpa mengenal batas ruang (teritorial) dan waktu. Seperti disebutkan pada bagian terdahulu bahwa peran informasi, dalam bentuk yang sesederhana apapun adanya, tidak pelak merupakan penentu keberhasilan usaha apapun yang dilakukan manusia. Menyadari begitu pentingnya informasi bagi seseorang, maka seharusnya setiap manusia memiliki akses yang memadai terhadap sumber informasi. Kualitas hidup seseorang akan amat ditentukan oleh kualitas informasi yang diaksesnya. Kualitas informasi (dan juga data) merujuk kepada akurasi dan ketepatan waktu informasi itu didapatkan. Informasi yang tidak valid, tidak benar, bahkan menyesatkan, akan berdampak pada kesalahan pengambilan “keputusan hidup” bagi seseorang dan masyarakat. Sebaliknya, dengan didukung oleh informasi dan data yang benar, akurat, dan tersedia tepat pada saat diperlukan, kehidupan masyarakat akan meningkat. Pada sisi lain, setiap orang mempunyai kebutuhan dan ketertarikan yang berbeda terhadap informasi. Seorang insinyur akan lebih tertarik untuk membaca rubrik tentang rancang bangun gedung pencakar langit, sementara seorang juru masak justru lebih memilih bacaan tentang masakan tradisional Papua. Oleh karena itu, ada beberapa kalangan yang membangun media komunikasi massa yang hanya diperuntukan bagi kalangan internal komunitasnya. Penyediaan dan sirkulasi informasi yang “steril” dari kepentingan pihak-pihak tertentu, benar, jujur dan faktual, tidak tendensius serta tidak bersifat provokatif-negatif, adalah hal yang mutlak. Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang sesuai dengan kriteria ini, diperlukan kejujuran dari semua pihak, terutama sumber-sumber dan pelaku jurnalisme. Agar kondisi ini tercapai, seluruh komponen masyarakat perlu diberdayakan sebagai subyek informasi; penyedia informasi, pengolah dan pengguna informasi, sehingga berlaku idealisme demokrasi media: “dari warga masyarakat, oleh warga masyarakat, dan untuk warga masyarakat.” Pada poin inilah, keberadaan citizen reporter atau pewarta warga menjadi amat fundamental. Setiap orang difungsikan dan memfungsikan diri sebagai pemberi informasi yang sekaligus juga pengguna informasi itu sendiri. Warga masyarakat tidak lagi sebagai konsumen informasi belaka, tetapi juga sebagai penyedia informasi bagi orang lain. Orang mungkin bertanya, bagaimana itu bisa terjadi? Mampukah warga masyarakat biasa menghasilkan sebuah tulisan yang memenuhi standard jurnalistik? Bagaimana mengontrol peredaran 12 informasi yang mungkin saja bisa simpang-siur karena banyak pihak yang memberitakan sesuatu dengan versinya masing-masing? Bagaimana dengan validitas dan pertanggung-jawaban informasi yang diberikan oleh seorang citizen reporter? Dan setetusnya dan seterusnya. Citizen journalism tidaklah dimaksudkan untuk membuat segalanya bebas tak terhalang apapun dalam mengekspresikan informasi yang dimiliki. Namun sistim ini lebih bertujuan untuk memberikan akses sepada masyarakat biasa, non-wartawan profesional, kepada media massa dari mulai pencarian informasi, penyajian, hingga kepada penggunaannya. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya, setiap individu memikul tanggung-jawab terhadap semua informasi yang dimiliki dan dibagikannya melalui tulisan di media. Dalam tanggung-jawab tersebut terkandung tugas-tugas untuk menghasilkan tulisan yang benar, jujur, informatif, serta bermanfaat bagi orang banyak. Para pekerja pers mengetahui prinsip ini: “suatu tulisan disebut berita jika ia memenuhi syarat kebermanfaatan bagi masyarakat.” Menghasilkan sebuah tulisan yang benar, sesuai fakta, jujur, tanpa tendensi negatif, tidak provokatifnegatif, dan seterusnya, dapat dilakukan oleh semua orang tanpa harus memiliki tingkat pendidikan dan ketrampilan tertentu. Bertugas sebagai citizen reporter justru akan menjadi wadah strategis bagi setiap orang untuk menjadi pewarta yang jujur, berdedikasi, memiliki jiwa sosial yang tinggi, serta melatih diri untuk bertanggung jawab. Seluruh tulisan atau berita yang disampaikan kepada publik, tanggung jawab sepenuhnya berada pada sipenulis. Redaksi sebuah media manapun tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran dan konsekwensi dari sebuah hasil karya citizen reporter. Dalam konteks ke-kinian, eksistensi pewarta warga semestinya dipandang sebagai mitra kerja yang amat potensial bagi kalangan pekerja media mainstream. Setidak-tidaknya ada empat hal yang dapat menjadi dasar berpijak dalam melihat dan mengembangkan kolaborasi kemitraan antara pewarta warga dengan media arus utama, sebagai berikut. Pertama, pewarta warga sebagai sumber informasi teraktual, faktual dan memiliki the golden-moment information yaitu informasi tentang apa yang terjadi pada detik-detik sebuah peristiwa berlangsung. Berbagai kalangan mengakui bahwa para jurnalis warga yang tidak lain adalah anggota masyarakat adalah satu-satunya sumber informasi paling faktual dan tidak terkontaminasi dengan persepsi atau asumsi yang berlebihan dari pihak lain. Dalam posisi tersebut, para jurnalis professional dapat memanfaatkan keberadaan setiap pewarta masyarakat dan hasil karya jurnalistik mereka untuk menjadi sumber infromasi bagi media massa yang mereka kelola. Meningkatan hasil karya jurnalistik para pewarta warga agar lebih baik, berbobot, dan menarik adalah bagian dari tugas media mainstream untuk diimplementasikan. Kedua, pewarta warga dapat berfungsi sebagai pengisi ruang-ruang kosong pemberitaan media massa. Sebagaimana dipahami bahwa secanggih dan sehebat apapun sistim pengumpulan informasi yang diterapkan oleh media massa arus utama, baik pada skala lokal, regional, maupun internasional, hampir dapat dipastikan bahwa terdapat banyak sekali informasi yang luput dari pengamatan dan analisa yang dilakukan. Tidak jarang, informasi yang luput dari perhatian tersebut justru merupakan substansi dari informasi yang terlanjur terpublikasi ke masyarakat luas. Pada kondisi itu, keberadaan pewarta warga akan menjadi “penyelamat”, mereka berperan memeberikan informasi yang tertinggal tadi, sehingga publik mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dan faktual untuk pada akhirnya membantu memudahkan pembaca merespon informasi tersebut secara benar dan tepat. Ketiga, pewarta warga dapat menjadi salah satu sumber tenaga kerja potensial bagi media mainstream. Para ahli pendidikan sepakat bahwa proses belajar yang dilakukan dengan sistim “learning by doing”, terutama bagi manusia dewasa, memiliki keunggulan yang sulit ditandingi, antara lain membentuk sebuah pola kerja yang teruji dalam kurun waktu lama, tingkat kesalahan kerja yang amat kecil karena telah melewati proses trial-and-error berkali-kali, dan komitmen tinggi terhadap pekerjaan karena disenangi dan merupakan hobi. Dalam prakteknya, pewarta warga melakukan kegiatan jurnalistiknya dengan pola belajar sambil bekerja, sehingga pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan dari proses menghasilkan karya yang berulang-ulang, terkadang melalui eksperimen dan coba-coba, dapat menjadi modal yang baik dan cukup untuk memulai karir 13 sebagai jurnalis professional di media-media massa konvensional. Mereka itu adalah calon tenaga trampil bagi pelaku media arus utama, baik di daerah-daerah maupun di perkotaan. Keempat, pewarta warga sebagai pengontrol media massa yang ampuh. Kenyataan membuktikan bahwa kebebasan publikasi informasi yang lahir sejak dibukanya keran kebebasan pers di Indonesia, juga terjadi dalam sejarah kebebasan pers di negara lain, tidak selamanya berbanding lurus dengan tersedianya informasi yang benar dan akurat. Banyak contoh kasus yang bahkan masuk ke pengadilan akibat pemberitaan bohong, tidak akurat, dan cenderung ditumpangi oleh maksud negatif tertentu. Dalam banyak kejadian, kesalahan dan ketidak-benaran informasi yang dipublikasikan media massa tidak semata kesalahan sang jurnalis atau editor media massa tersebut, tetapi justru kesalahan berawal dari sumber informasi yang tidak benar. Idiom “sumber resmi” di berbagai instansi pemerintah, kepolisian, dan kalangan swasta yang lazim digunakan sebagai dasar publikasi sebuah informasi adalah salah satu dari sekian faktor penyebab ketidak-benaran informasi di media-media massa. Fenomena ini memberikan pemahaman bahwa perlu ada proses kontrol yang terus-menerus terhadap media massa. Jika di masa lalu, lembaga kontrol dikendalikan oleh pemegang otoritas yakni pemerintah, maka kini saatnya masyarakat melalui citizen journalist mengambil peran sebagai pengontrol independen terhadap media massa. Secara langsung atau tidak, negara dan masyarakat mendapatkan keuntungan yang amat besar dari sebuah sistim publikasi media massa ala jurnalisme warga. Sebagaimana diuraikan di atas, kontrol media massa mainstream dapat dilakukan melalui mekanisme pengisian ruang-ruang kosong pemberitaan yang luput dari perhatian wartawan profesional. Jurnalis warga juga dapat memberikan dukungan atau sebaliknya sanggahan terhadap sebuah informasi yang beredar di media massa secara imparsial, bebas tanpa ikatan suatu kepentingan pribadi/kelompok tertentu. Dengan pola itu, keakuratan, validitas, dan imparsialisme dari sebuah informasi yang beredar di publik/masyarakat akan terjaga. Daftar Kepustakaan: 1. The Power of the Media, available on http://www.pluggedinonline.com/discernment/a0001820.cfm, [accessed on 25th February 2008] 2. OhmyNews Makes Every Citizen a Reporter, available on http://www.japanmediareview.com/japan/internet/1063672919.php, [accessed on 25th February 2008] 3. Citizen journalism, available on http://en.wikipedia.org/wiki/Citizen_journalism, [accessed on 5th December 2007] 4. OhmyNews, available on http://en.wikipedia.org/wiki/OhmyNews, [accessed on 5th December 2007] 5. The citizen journalism debate, available on http://blogs.guardian.co.uk/organgrinder/2006/01/the_citizen_journalism_debate.html, [accessed on 5th December 2007] 6. Beberapa tulisan penulis di www.pewarta-indonesia.com dan www.kabarindonesia.com *) Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI)